Rakyat Riau Pernah Berdarah-darah Rebut Bandara Simpangtiga dari Penjajah Belanda

Rabu, 15 Agustus 2018 | 12:59:11 WIB
Presiden Soekarno ke Bandara Simpangtiga. (foto: dok.tni au via detikcom)

HARIANRIAU.CO - Bandara Sultan Syarif Kasim II dulunya disebut Bandara Simpangtiga Pekanbaru. Dalam sejarahnya, Sultan Siak punya peran penting dalam berdirinya Pangkalan Udara di Pekanbaru. Mau tahu sejarahnya?

Nama Sultan Syarif Kasim (SSK) II dinobatkan menjadi nama Bandara di Pekanbaru pada tahun 2000 oleh Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.

Seperti dilansir potretnews.com dari detikcom, Bandara SSK II ini landasan pacunya sekaligus digunakan untuk Pangkalan Udara (Lanud) Roesmin Nurjadin, Pekanbaru. Bangunan gedung Bandara Internasional SSK II ini juga sudah tampak apik setelah dipugar menjelang PON tahun 2012 lalu di Pekanbaru.

Tapi mungkin sebagian masyarakat belum banyak yang tahu bagaimana sejarahnya ada bandara di Pekanbaru. Menilik dalam buku sejarah dengan judul ”Pengabdian Elang Bertuah dari Bumi Lancang Kuning” yang dikeluarkan Lanud Roesmin Nurjadin, Pekanbaru, pangkalan udara ini berdiri sebelum Indonesia merdeka.

”Pemerintah Belanda yang sudah tiga abad menjajah Nusantara memandang perlu dibangunnya pelabuhan udara di Pekanbaru. Pembangunan lapangan terbang ini tentunya untuk memperlancar hubungan keluar atau mengangkut hasil bumi dari Indonesia ke Belanda," tulis buku tersebut.

Bandara udara ini ternyata dibangun pada tahun 1930 oleh Belanda. Pembangunan ini setelah pihak Belanda mendapat izin dari Sultan Siak. Pemberian izin pembangunan lapangan terbang ke Belanda ini tertuang dalam surat Sultan Siak No 9 tanggal 10 Juli 1930.

Dengan mendapatkan izin, Sultan Siak menghibahkan tanah untuk lapangan udara seluas 3.270 hektar. Setelah selesai dibangun Pemerintah Belanda, lapangan udara ini dikenal dengan sebutan Lapangan Terbang Simpangtiga. Nama Simpang Tiga ini, karena posisi lapangan udara itu dekat dengan jalan raya Sumatera menghubungkan Pekanbaru ke Kabupaten Kampar.

"Terbangunannya lapangan udara ini, hubungan Belanda dengan dunia luar semakin lancar. Selain digunakan untuk perdagangan, lapangan itu sekaligus dijadikan pangkalan militer Belanda," ujarnya.

Masih dalam buku sejarah tersebut, pada tahun 1942 ketika Indonesia dijajah Jepang hingga tahun 1945, kekuasan lapangan udara beralih dari Belanda ke Jepang. Bandara ini juga dijadikan pangkalan militer udara Jepang. Letaknya yang di Riau, Jepang juga memanfaatkan lapangan udara ini sebagai kunci penting dalam memantau di Selat Malaka.

Setelah 3,5 tahun dijajah Jepang, tersebar kabar Jepang menyerah tanpa syarat kepada pasukan Sekutu pada 15 Agustus 1945. ”Sejumlah tentara Jepang tampak gelisah di Riau," ceritanya.

Masyarakat pun menyambut kegembiraan atas kabar takluknya Jepang di tangan Sekutu. Terlebih 17 Agustus 1945 Proklamasi Kemerdekaan dibacakan Sukarno-Hatta. Kabar kemerdekaan baru terdengar di Riau pada akhir Agustus 1945.

Pada Setember 1945, kegembiraan rakyar Riau pun kembali terusik. Ini karena tentara Sekutu kembali lagi ke Bumi Lancang Kuning. Tentara Sekutu yang datang dipimpin Mayor Lengley yang ternyata bangsa Belanda. Mereka datang untuk kembali menguasai lapangan udara.

Waktu terus berjalan, masyarakat Indonesia termasuk di Riau, mempertahankan kemerdekaanya. Beberapa kali terjadi peristiwa membara di sekitar lapangan udara Simpang Tiga Pekanbaru.

 

Pada 2 Juli 1946, pesawat terbang B-25 (Mtchel) jenis bomber/starff milik Belanda berputar-putar di landasan dan terus terbang rendah sembari menyiramkan pelurunya ke landasan. Serangan ini langsung disambut dengan serangan balasan oleh anak buah Sersan Abdul Manaf. Jabatan Abdul Manaf saat itu sebagai komandan tegu yang ditugaskan mengamankan lapangan udara Simpangtiga.

Belasan tembakaan yang dilakukan pasukan Abdul Manaf, membuat pesawat Belanda tak bisa terbang lagi. Pesawat itu akhirnya tergelincir dan menabrak onggokan beton bekas kubu pertahanan yang telah tertutup rerumputan.

"Dalam pesawat itu ada 11 orang tentara Belanda yang mati. Ada satu orang yang hidup, saat itu dibawa ke Bukittinggi Sumatera Barat, untuk mendapatkan perawatan," ujarnya.

Pada 4 Juli 1946, Opsir Muda Udara M Jacoeb datang bersama rombongan dari Komendemen Sumatera yang terdiri dari Letkol Abdullah Kartawirana, Kol Moh Nuh, Kol Abunjani. Mereka mendapat tugas untuk memperbaiki semua kondisi lapangan udara di Sumatera.

Ketika pemuda di Pekanbaru kehilangan semangat juang akibat agresi I Belanda, awal Juli 1948, Presiden Soekarno untuk pertama kalinya mendarat di lapangan udara Pekanbaru. Kedatangannya dengan menggunakan pesawat RI 002 milik pemerintah Indonesia. Kedatangan Soekarno disambut hangat para pemuda dan para tentara Indonesia.

Soekarno datang dengan ciri khas bajunya yang serba putih berkopiah hitam. Kedatangannya membuat semangat para pejuang kala itu. Soekarno menginap di rumah Residen Riau RM Utoyo. Di sepanjang jalan dari lapangan terbang Simpang Tiga rakyat menyambutnya dengan teriakan ”merdeka”.

Kini, lapangan udara Simpang Tiga sudah berubah nama menjadi Sultan Syarif Kasim II sebagai bentuk penghormatan atas kiprahnya turut andil lahirnya lapangan udara itu. Landasan Bandara SSK II Pekanbaru hingga masih juga digunakan sebagai landasan untuk pesawat tempur TNI AU. Kini Lanud Roesmin Nurjadin berkembang sebagai pangkalan udara pertahanan Indonesia bagian Barat.

Sejak Agustus 2018, Lanud Roesmin Nurjadin dikomandoi Kolonel Penerbang Ronny Irianto Moningka ST. MM (menunggu kenaikan pangkat menjadi marsekal pertama).

Lanud Roesmin Nurjadin, memiliki Skadron 12 dengan pesawat tempur jenis Hawk dan Skadron 16 dengan jenis pesawat F16. Komandan Skadron 12, Letkol Pnb Asri Effendy Rangkuti, Komandan Skadorn F16 dimpimpin Letkol Pnb Bambang Apriyanto, Komandan Skadron Teknik 045 Letkol Tes Aris Purwana.

Ditambah lagi, Batalyon Komando 462/Paskhas dengan moto Pulanggeni. Danyon Paskhas 462, Letkol Pas M Arif Zainudin. Pasukan Khas ini di bawah Komando Wing I Paskhas dengan tugas mempertahankan pangkalan, alutsista, instalasi TNI AU. 

 

 

Sumber: potretnews

Terkini