Jurnalis Perempuan yang Berani Pertaruhkan Nyawa di Medan Perang

Ahad, 21 April 2019 | 19:05:03 WIB

HARIANRIAU.CO - Apa yang Anda pikirkan tentang jurnalis perempuan yang bertugas di wilayah konflik? Mungkin kita akan berpikir, seorang wanita yang mengenakan baju besi untuk tubuhnya, dengan lencana Pers terpampang di bagian depan, berdiri di tengah-tengah debu dan kekacauan yang sedang terjadi di zona perang.

Dapat dikatakan bahwa menjadi seorang jurnalis wanita yang bertugas di zona perang harus sangat diapresiasi. Pasalnya mereka melakukan sesuatu hal yang memiliki resiko yang sangat berbahaya. Seperti kehilangan nyawanya dan terluka akibat gempuran senjata.

Dilansir dari GQ, Minggu (21/4/2019), inilah beberapa jurnalis wanita terbaik yang telah terjun langsung ke zona perang tersebut.

Rossalyn Warren

Warren menghabiskan waktu lima tahun untuk melaporkan berita yang sedang terjadi di Afrika, Amerika Tengah dan Eropa. Sementara pekerjaannya di zona konflik membawa bahaya untuk dirinya, sifat yang sensitif dari beberapa berita yang dia tulis saat di Rwanda dan Cina telah menyebabkan ia dikuntit dan ditempatkan di bawah pengawasan ketat dan diserang di media sosial.

“Seperti banyak wartawan lepas lainnya yang meliput berita internasional, saya sering bepergian sendirian, dan ada banyak momen di mana sendirian berada dalam bahaya. Ada kebutuhan besar yang lebih baik untuk freelancer, apakah itu terkait asuransi atau keamanan digital.", jelas Rossalyn.

 

Sulome Anderson

Sulome Anderson, putri dari dua orang koresponden perang. Sebagai seorang wanita yang bekerja di Timur Tengah, Anderson harus bersaing dengan banyak kejahatan seksual yang tidak diinginkan.

“Sesuatu yang sangat dibutuhkan oleh seorang jurnalis perempuan adalah berani untuk mengatakan tidak. Karena pekerjaan ini pasti akan membuat beberapa wanita merasa tidak nyaman. Jadi benar-benar sangat penting untuk memahami apa yang membuat nyaman dengan mengikuti naluri Anda sendiri” jelas Sulome.

 

Alexis Okeowo

Sebelum dia menjadi penulis di The New Yorker, Okeowo pernah melaporkan daerah-daerah yang dikepung oleh Boko Haram dan Tentara Perlawanan. Tekadnya untuk merekam kisah-kisah ekstremisme agama yang menantang di seluruh benua Afrika, menandai dia sebagai salah satu koresponden asing paling terkemuka yang bersedia mengambil risiko yang besar untuk menyampaikan kisah yang perlu diceritakan, walaupun hal itu sulit untuk dicapai .

"Dalam beberapa kasus, saya pergi sendiri atau saya mencari tahu editor yang akan mendukung saya untuk pergi. Jadi, itu benar-benar perjuangan yang berat. Tetapi saya sangat yakin dengan apa yang ingin saya lakukan.”, ungkap Alexis.

 

Rukmini Callimachi

Terkenal karena menjadi salah satu jurnalis terkemuka yang meliput terorisme di Timur Tengah, Callimachi adalah seorang wanita yang tampaknya tidak pernah ragu untuk pergi ke daerah-daerah yang rawan. Ketika The New York Times mempekerjakannya sebagai koresponden tentang kasus Isis, pekerjaan itu tidak menghalangi dia. Mengingat pekerjaan sebelumnya, ia meneliti dokumen jihad Islam di Mali, sehingga pekerjaan itu disambut dengan baik:

"Saya senang, rasanya seperti saya menemukan sesuatu, itu bermakna dan menarik. Apakah cukup untuk mengambil akun-akun pelecehan yang mengerikan ini lalu menuliskan dan menerbitkannya di halaman salah satu dari The New York Times?", ungkap Rukmini

"Secara umum, saya merasa bahwa peran yang saya mainkan adalah salah satu peran yang penting tetapi ketika Anda menghadapi itu semua, Anda akan bertanya-tanya apakah itu cukup.", jelasnya.

 

Sumber: okezone

Terkini