Rakyat Riau Pernah Berdarah-darah Rebut Bandara Simpangtiga dari Penjajah Belanda

Rakyat Riau Pernah Berdarah-darah Rebut Bandara Simpangtiga dari Penjajah Belanda
Presiden Soekarno ke Bandara Simpangtiga. (foto: dok.tni au via detikcom)

HARIANRIAU.CO - Bandara Sultan Syarif Kasim II dulunya disebut Bandara Simpangtiga Pekanbaru. Dalam sejarahnya, Sultan Siak punya peran penting dalam berdirinya Pangkalan Udara di Pekanbaru. Mau tahu sejarahnya?

Nama Sultan Syarif Kasim (SSK) II dinobatkan menjadi nama Bandara di Pekanbaru pada tahun 2000 oleh Presiden Abdurrahman Wahid alias Gus Dur.

Seperti dilansir potretnews.com dari detikcom, Bandara SSK II ini landasan pacunya sekaligus digunakan untuk Pangkalan Udara (Lanud) Roesmin Nurjadin, Pekanbaru. Bangunan gedung Bandara Internasional SSK II ini juga sudah tampak apik setelah dipugar menjelang PON tahun 2012 lalu di Pekanbaru.

Tapi mungkin sebagian masyarakat belum banyak yang tahu bagaimana sejarahnya ada bandara di Pekanbaru. Menilik dalam buku sejarah dengan judul ”Pengabdian Elang Bertuah dari Bumi Lancang Kuning” yang dikeluarkan Lanud Roesmin Nurjadin, Pekanbaru, pangkalan udara ini berdiri sebelum Indonesia merdeka.

”Pemerintah Belanda yang sudah tiga abad menjajah Nusantara memandang perlu dibangunnya pelabuhan udara di Pekanbaru. Pembangunan lapangan terbang ini tentunya untuk memperlancar hubungan keluar atau mengangkut hasil bumi dari Indonesia ke Belanda," tulis buku tersebut.

Bandara udara ini ternyata dibangun pada tahun 1930 oleh Belanda. Pembangunan ini setelah pihak Belanda mendapat izin dari Sultan Siak. Pemberian izin pembangunan lapangan terbang ke Belanda ini tertuang dalam surat Sultan Siak No 9 tanggal 10 Juli 1930.

Dengan mendapatkan izin, Sultan Siak menghibahkan tanah untuk lapangan udara seluas 3.270 hektar. Setelah selesai dibangun Pemerintah Belanda, lapangan udara ini dikenal dengan sebutan Lapangan Terbang Simpangtiga. Nama Simpang Tiga ini, karena posisi lapangan udara itu dekat dengan jalan raya Sumatera menghubungkan Pekanbaru ke Kabupaten Kampar.

"Terbangunannya lapangan udara ini, hubungan Belanda dengan dunia luar semakin lancar. Selain digunakan untuk perdagangan, lapangan itu sekaligus dijadikan pangkalan militer Belanda," ujarnya.

Masih dalam buku sejarah tersebut, pada tahun 1942 ketika Indonesia dijajah Jepang hingga tahun 1945, kekuasan lapangan udara beralih dari Belanda ke Jepang. Bandara ini juga dijadikan pangkalan militer udara Jepang. Letaknya yang di Riau, Jepang juga memanfaatkan lapangan udara ini sebagai kunci penting dalam memantau di Selat Malaka.

Setelah 3,5 tahun dijajah Jepang, tersebar kabar Jepang menyerah tanpa syarat kepada pasukan Sekutu pada 15 Agustus 1945. ”Sejumlah tentara Jepang tampak gelisah di Riau," ceritanya.

Masyarakat pun menyambut kegembiraan atas kabar takluknya Jepang di tangan Sekutu. Terlebih 17 Agustus 1945 Proklamasi Kemerdekaan dibacakan Sukarno-Hatta. Kabar kemerdekaan baru terdengar di Riau pada akhir Agustus 1945.

Pada Setember 1945, kegembiraan rakyar Riau pun kembali terusik. Ini karena tentara Sekutu kembali lagi ke Bumi Lancang Kuning. Tentara Sekutu yang datang dipimpin Mayor Lengley yang ternyata bangsa Belanda. Mereka datang untuk kembali menguasai lapangan udara.

Waktu terus berjalan, masyarakat Indonesia termasuk di Riau, mempertahankan kemerdekaanya. Beberapa kali terjadi peristiwa membara di sekitar lapangan udara Simpang Tiga Pekanbaru.

Halaman :

Berita Lainnya

Index