Pembantaian Kilat di Rengat

Pembantaian Kilat di Rengat
Peta Sungai Rengat, 1935. Sumber : KITLV.

Fajar menyingsing di Kota Rengat, ibukota Kabupaten Indragiri, Riau. Pagi hari sekira pukul 06.00, Wasmad Rads prajurit TNI dari Batalyon III, Resimen IV, Divisi IX Banteng Sumatera, berjalan-jalan menyusuri kota.

Dari arah tenggara kota, tiba-tiba sepasang pesawat “bercocor merah” terbang rendah. Pesawat penempur-pembom jenis Mustang P-51 itu berpanji triwarna: Merah, Putih, Biru. Belanda datang menyerang.

“Mereka menjatuhkan bom di jalan-jalan, alun-alun pasar di mana orang-orang berbelanja, dan rumah penduduk. Mereka bahkan menembaki orang-orang yang berdiri di atas tanah,” kenang Letnan Muda Wasmad Rads dalam memoarnya Lagu Sunyi dari Indragiri.

Berondongan peluru menghujani seisi kota. Markas tentara, pasar, permukiman penduduk, dan basis sipil lainnya diterjang “si cocor merah” dari atas udara. Hari itu, 5 Januari 1949, tercatat sebagai peristiwa berdarah di Rengat. Hingga kini, setiap tahun masyarakat Rengat memperingatinya sebagai hari berkabung.

Menumpah Darah, Menciduk Minyak

Serangan udara berlangsung hingga menjelang tengah hari. Namun derita rakyat Rengat belum tamat. Sejurus kemudian, tujuh pesawat pengangkut jenis Dakota membawa 180 pasukan khusus Belanda (Korps Speciale Troepen/KST) yang diterjunkan untuk menduduki Rengat.

Operasi penerjunan dengan sandi “Mud Operation” (Operasi Lumpur) berlangsung pada pukul 11.00 dengan titik pendaratan di area rawa-rawa sekitar Kampung Sekip. Pemimpin pasukan Baret Hijau itu adalah Letnan Rudy de Mey yang tak lain kompatriot kepercayaan Kapten Raymond Westerling, mantan komandan KST.

Menurut buku Sejarah Daerah Riau yang diterbitkan Depdikbud tahun 1987, ada dua motif di balik aksi ofensif militer Belanda di Rengat. Pertama, menurut perkiraan dinas intelijen Belanda (Nefis), kekuatan tentara Indonesia di Indragiri adalah yang terkuat di Riau. Selain itu, di daerah Air Molek, sebelah barat Rengat, terdapat pabrik senjata. Sejak masa agresi militer I, beberapa kali Belanda menyita kapal motor Indonesia yang memuat pasokan senjata dari kawasan itu. Kedua, adanya kilang minyak di desa Lirik, utara Rengat. Minyak dibutuhkan mesin-mesin perang Belanda untuk meneruskan penetrasinya ke pedalaman Sumatra.

Ketika Para KST mendarat di Rengat, pertahanan tentara Republik tak sekuat dugaan Nefis. Hal ini berkenaan dengan kebijakan Reorganisasi dan Rasionalisasi (ReRa) angkatan perang pada 1948.

Namun Jaap de Moor dalam Westerlings Oorlog menyebut, de Mey menghadapi perlawanan sengit dari tentara Indonesia yang mencoba melarikan diri dari Rengat. Kontak senjata itu memakan korban bukan hanya kombatan melainkan warga sipil, terutama wanita dan anak-anak.

Sementara itu, tim penyusun pemerintah Kabupaten Indragiri Hulu mengungkap, tentara Belanda dengan seragam loreng-loreng itu memasuki inti kota dalam waktu singkat. Pusat-pusat pemerintahan dikuasai. Pendudukan Rengat diikuti dengan penangkapan dan pembantaian terhadap penduduk.

“Tentara Para menyapu habis segala yang bergerak. Prajurit atau rakyat biasa yang bersembunyi di bawah gorong-gorong atau parit yang digenangi air ditembak habis. Air parit yang berwarna keruh berubah menjadi merah,” tulis tim penyusun dalam Peristiwa 5 Januari 1949 di Kota Rengat Indragiri Riau suntingan Suwardi.

Wasman Rads dalam memoarnya memaparkan, mereka yang tertangkap pasukan Belanda dikumpulkan dan dibariskan di bantaran sungai Indragiri. Kemudian, satu per satu ditembaki dari belakang hingga tercebur ke air. Wasmad sendiri berhasil melarikan diri ke hutan, sebelum akhirnya ditangkap seregu tentara KNIL dan dipenjara hingga pengakuan kedaulatan.

Menjelang sore, penduduk yang tersisa dipaksa membuang mayat yang berserakan di jalanan kota ke Sungai Indragiri. Pembunuhan sistematis masih berlangsung. Satu orang mengangkat tangan, seorang yang lain mengangkat kaki. Dalam hitungan ketiga, mayat dilempar menyusul kemudian terjangan peluru menyasar kedua orang tersebut dan semuanya masuk ke sungai.

Salah satu tokoh sipil yang menjadi korban adalah Tulus, bupati Indragiri. Tulus –yang merupakan ayah kandung penyair Chairil Anwar– terbunuh saat rumahnya disatroni tentara Belanda. Selain Tulus, Abdul Wahab (wedana), Korengkeng (kepala polisi) dan wakilnya yang bernama Kasim turut tewas dalam pembantaian.

Pukul 16.00, Kota Rengat jatuh ke tangan Belanda. Ibu Miri seorang saksi mata yang kala itu masih bocah menggambarkan petaka di Rengat. Marwoto Saiman dalam laporan penelitian, “Semangat Nasionalisme Rakyat Rengat” di Universitas Riau mencatat kesaksian itu.

“Kota Rengat waktu itu seperti kota mati. Sungai Indragiri berwarna merah akibat darah tentara dan rakyat. Selama dua bulan penduduk tidak mau makan ikan sungai karena menemukan jemari manusia dalam perut ikan.”

Halaman :

#Sejarah

Index

Berita Lainnya

Index