HARIANRIAU.CO - Komisi II DPRD menggelar Rapat Dengar Pendapat (RDP) membahas konflik antara masyarakat Desa Terantang Manuk Kecamatan Pangkalan Kuras dengan PT Arara Abadi, Senin (15/2/2021). Hanya saja RDP yang dipimpin langsung ketua DPRD Pelalawan, Baharudin SH diwarnai ketidakhadiran dari pihak perusahaan.
Pada kesempatan itu Ketua DPRD Pelalawan Baharudin membacakan sepucuk surat yang dikirim pihak perusahaan terkait ketidakhadiran mereka saat RDP ini. Dalam surat itu, PT Arara Abadi tidak bisa hadir lantaran ada agenda bersamaan dan mereka meminta agar RDP dapat diagendakan di lain waktu.
Padahal rapat ini selain membahas persoalan konflik lahan seluas 1.300 hektare yang dikuasai grup Sinar Mas Grup ini, juga membahas persoalan, adanya tiga warga Desa Terantang Manuk yang dilaporkan ke Polda Riau.
Menariknya ketiga warga yang dilaporkan PT Arara Abadi, diantaranya adalah Kepala Desa (Kades) Terantang Manuk Bakri, Salim tokoh masyarakat dan Rudi Iskandar merupakan tokoh pemuda setempat. Ketiga warga ini dianggap pihak perusahaan orang paling vokal menyuarakan kepentingan masyarakat terutama menuntut persoalan lahan.
RDP ini merekomendasikan agar ketiga masyarakat Desa Terantang Manuk yang dilaporkan ke Polda Riau oleh pihak perusahaan agar dibebaskan. PT Arara Abadi pun didesak untuk mencabut Laporan Polisi (LP).
Rapat dipimpin langsung Ketua DPRD Pelalawan Baharudin, perwakilan anggota Komisi II diantaranya, tampak hadir, Sukardi, Evi Zulfian, Yulmida, Solehudin. Turut serta dihadiri, kepala BPN Pelalawan Ruslan, Camat Pangkalan Kuras, Firdaus Wahidin, perwakilan Disbunnak, serta Pemdes Terantang Manuk.
Suwardi Abbas, Sekretaris Desa (Sekdes) Terantang Manuk, pada kesempatan itu membeberkan lahan 1.300 hektare yang dikuasai Arara Abadi dulunya adalah bekas peladangan dari masyarakat, bukan hutan.
Membuktikan dasar lahan ini milik masyarakat tidaklah sulit. Dibuka saja kata Suwardi Abbas SK yang diterbitkan pada tahun 1996. Dimana pada SK 1996 ini, jelas mengatakan bahwa lahan PT Arara Abadi seluas 299 ribu hektar lebih di Riau, termasuk di Pelalawan. Itu bukan serta merta di dalamnya HTI.
Tapi cakapnya ada klausul di dalamnya, jika terdapat perkampungan ataupun bekas peladangan masyarakat di dalamnya, makanya mesti dikeluarkan oleh pihak perusahaan.
"Jika masyarakat tidak mengeluarkannya, maka rundingkanlah sama masyarakat. Kalau mau masyarakat mengeluarkan untuk perusahaan bikin dokumen, ganti rugi. Dasar kepemilikan lahan kami, ini SK 96. Begitu juga dasar kepemilikan lahan dari PT Arara Abadi juga SK 96," tegasnya.
Dengan demikian sebutnya, pihak perusahaan harus menyelesaikan persoalan ini dengan masyarakat. Jika masyarakat tidak mau dia inclub. Keluarkan, itu bukan masuk HTI. Jadi yang kami klaim ini bukan HTI, tapi bekas peladangan masyarakat yang masuk dalam HTI perintah SK 96, wajib dikeluarkan," bebernya.
Terakhir ia meminta, kepada pemerintah dan pihak terkait, untuk tidak memperpanjang izin penguasaan lahan kepada PT Arara Abadi sebelum menyelesaikan banyak persoalan di Riau, termasuk di Kabupaten Pelalawan. "Ke depan jangan diperpanjang izin, jika persoalan dengan masyarakat diselesaikan," tandasnya.
Di tempat terpisah Humas PT Arara Abadi, Alfian membenarkan bahwa pihak perusahaan melaporkan tiga warga Desa Terantang Manuk ke Polda Riau, salah satunya adalah Kades. Melaporkan ke pihak berwajib adalah pilihan terakhir ketika berbagai upaya mediasi mentok.
"Itu benar, dan jalan terakhir bagi kita melaporkan ke polisi, ketika berbagai upaya mediasi kandas. Lantaran, kita dilarang menanam, di RKT kita," bebernya, ketika dihubungi melalui telepon genggamnya.
Terkait masalah lahan 1.300 hektare. Alfian menjelaskan bahwa tidak ada masalah lagi. Semuanya, tambah Alfian sudah diberikan kompensasi, bukti-buktinya ada.
sumber cakaplah.com