Sebut Aksi Teror Gereja hanya Settingan, Oknum Kepala Sekolah Diciduk Polisi

Sebut Aksi Teror Gereja hanya Settingan, Oknum Kepala Sekolah Diciduk Polisi

HARIANRIAU.CO - Teror bom terjadi di Surabaya, Jawa Timur, Minggu, 13 Mei 2018, pagi. Sejumlah tiga gereja jadi sasaran pelaku teror. 

Gereja Santa Maria Tak Bercela Jalan Ngagel Madya, Gereja Kristen Indonesia (GKI) Jalan Diponegoro dan Gereja Pantekosta Pusat Surabaya Jalan Arjuno. 

Berdasarkan data terbaru, ada 14 orang korban meninggal dunia akibat bom tersebut dan puluhan korban luka-luka. 

Setelah ditelusuri, ternyata terduga pelaku pemboman adalah satu keluarga. Mereka melakukan bom bunuh diri. 

Keluarga Dita Supriyanyo diketahui tinggal di kawasan Wonorejo, Rungkut, Surabaya.

Kapolri Jenderal Tito Karnavian menjelaskan peran Dita dan keluarga saat melakukan aski pengeboman.

Tito menuturkan, Dita menyerang Gereja Pantekosta Pusat Surabaya di Jalan Arjuno.

Ia naik mobil Avanza dan menabrakannya ke gereja hingga terjadi ledakan.

Bom ternyata berada di dalam mobil.

"Ledakan di gereja jalan Arjuno yang paling besar," jelas Tito.

Selanjutnya, istrinya Puji Kuswati dan dua anaknya meledakkan bom di Gereja Kristen Indonesia (GKI) Jalan Diponegoro Surabaya.

Ia datang ke gereja jalan kaki bersama dua anak perempuannya, yakni Fadhila Sari (12) dan Pamela Riskita (9).

Puji bersama dua anak perempuan masuk ke gereja dengan membawa bom bunuh diri.

Bom ditaruh di pinggangnya.

"Ciri sangat khas, korban rusak perutnya saja," terang Tito.

"Ibu meninggal, tapi juga ada korban masyarakat," sambungnya.

Sedangkan di Gereja Santa Maria Tak Bercela Jalan Ngagel Madya, bom bunuh diri dilakukan oleh dua anak laku-laki Dita.

Mereka adalah Yusuf Fadil (18) dan Firman Halim (16).

Keduanya membawa bom dengan cara dipangku.

Mereka masuk ke gereja naik motor dan memaksa masuk.

Kemudian bom meledak hingga menimbulkan banyak korban.

Peristiwa ini tentu saja mengundang amarah publik. Mereka geram dengan aksi teror yang terus terjadi di Indonesia. 

Di tengah duka, ada saja yang masih menganggap peristiwa ini sebagai sebuah settingan untuk pengalihan isu. 

Seperti yang dilakukan salah satu kepala sekolah SMP di Pontianak, Kalimantan Barat. 

Lewat akun Facebooknya, kepala sekolah bernama Fitri Septiani Alhinduan menuliskan status yang dianggap tidak bersimpati kepada para korban. 

Fitri Septiani Alhinduan (Facebook)Fitri Septiani Alhinduan (Facebook)

Gara-gara statusnya ini Fitri harus berurusan dengan pihak kepolisian. Ia pun dijemput aparat kepolisian untuk dimintai keterangan. 

Kasat Reskrim Polres Kayong Utara, AKP Denni Gumilar membenarkan pihaknya telah mengamankan seorang terduga pelaku ujaran kebencian melalui media sosial, FSA.

Dia mengaku belum dapat memberikan komentar lebih lanjut terkait kasus ini, sebab pihak kepolisian masih melakukan pemeriksaan terhadap tersangka.

FSA ditangkap lantaran diduga telah memposting status di Facebook yang berbau ujaran kebencian terkait peristiwa teror yang menghantam tiga gereja di Surabaya, Jawa Timur, Minggu (13/5/2018).

"Saat ini yang bersangkutan masih dalam tahap pemeriksaan," katanya saat dihubungi via telepon.

Status FSA ini sempat viral di media sosial, khususnya Facebook.

Dari penelusuran yang dilakukan Tribun di situs Sekolah Kita milik Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, FSA diduga mengemban tugas sebagai kepala sekolah di satu SMP,  Kayong Utara.


Sumber: tribunnews

Halaman :

##BomBunuhDiri

Index

Berita Lainnya

Index