Jack Ma Dukung Kerja 12 Jam Sehari, Bagaimana Indonesia?

Jack Ma Dukung Kerja 12 Jam Sehari, Bagaimana Indonesia?
Ilustrasi/Int

HARIANRIAU.CO - Taipan teknologi asal China, Jack Ma, baru-baru ini mendukung budaya kerja selama 12 jam di Negeri Tirai Bambu. Bos e-commerce Alibaba itu menyatakan mendukung praktik kerja 12 jam di perusahaannya yang dikenal sebagai 996 melalui akun media sosialnya. Pernyataan Jack Ma tersebut menuai kontroversi, termasuk di Indonesia.

Direktur Utama BCA Jahja Setiaadmadja berkomentar mengenai kontroversi Jack Ma yang ingin menerapkan 72 jam seminggu atau 12 jam kerja per hari kepada kar yawannya. Menurut Jahja, orang yang bekerja sebaiknya harus seimbang antara pekerjaan, keluarga, dan jaga kesehatan. Jadi kerja sebanyak 8 jam per hari dirasa cukup.

“Kita ini kan manusia, bukan mesin. Jadi sehari kerja 8 jam dan 5 hari kerja cukup. Kita harus jadi work smarter, bukan harder,” ujarnya saat dihubungi tadi malam.

Direktur Riset CORE Indonesia Pitter Abdullah punya tanggapan lain. Menurut dia, sebaiknya komentar Jack Ma ini diklarifikasi lebih lanjut. Idenya memang tidak masalah. Karena banyak pegawai yang jam kerja riilnya sudah seperti yang diusulkan Jack Ma.

“Saya dulu waktu kerja di Bank Indonesia (BI) berangkat jam 6 pagi pulang biasa jam 9 (malam/jam 21.00) atau bahkan lebih. Tapi cuma lima hari kerja seminggu,” katanya.

Lalu klarifikasi selanjutnya adalah kerjanya di mana dan bagaimana? Karena ada pekerjaan yang sekarang ini sudah bisa di kerjakan di rumah. Pitter beranggapan, ide Jack Ma hanya bisa diterapkan untuk jenis pekerjaan tertentu. Misalnya pekerjaan kreatif, bukan pekerjaan fisik.

“Kalau PNS misalkan, ini kan jenis pekerjaannya juga beda-beda. Ada peneliti, ada dosen, ada yang operasional melayani masyarakat. Tidak bisa disamakan semua. Selain itu tentu harus ada asumsi-asumsi atau syarat dari usulan Jack Ma. Sejauh mana syarat itu bisa kita penuhi. Misalnya syarat infrastruktur atau fasilitas kerja yang ada, termasuk insentifnya,” papar Pitter.

Sebagaimana diketahui, Jack Ma menyebut angka 996 mengacu pada periode orang bekerja dari jam 9 pagi sampai jam 9 malam dan 6 hari dalam seminggu. Hal itu dikatakan juga sebagai suatu yang umum di perusahaan teknologi besar dan perusahaan baru di China. Menurut Jack Ma, dengan bekerja 12 jam, karyawan mendapatkan kesempatan bekerja dan belajar yang cukup banyak.

“Jika kita menemukan hal-hal yang kita sukai (dalam pekerjaan kita), 996 tidak akan menjadi masalah,” ungkap Ma dalam blognya, Minggu (14/4), di situs media sosial China, Weibo. “Jika Anda tidak menyukai (pekerjaan Anda), setiap menit pastinya adalah siksaan,” tambahnya.

Jack Ma menegaskan bahwa ia hanya ingin memberi penghargaan kepada karyawan yang melakukan hal tersebut. “Sembilan Sembilan enam (996) yang sebenarnya bukan hanya pekerjaan lembur,” katanya. Pengamat ketenagakerjaan M Hadi Shubhan dari Universitas Airlangga mengatakan, sistem kerja 996 yang dijalankan di China melanggar harkat manusia.

Pelanggaran ini terjadi karena menyamakan pekerja yang notabene manusia dengan mesin. Hadi mengatakan, sistem kerja 72 jam per minggu ini hanya dijalankan di China karena di Korea Selatan saja hanya 50 jam seminggu. Menurut dia, China melakukannya untuk mengejar produktivitas di dalam perekonomian.

“Aturan kerja yang lazim di dunia, termasuk di Indonesia, adalah 40 jam per minggu. Kalau 996 kan berarti 12 jam x 6 hari = 72 jam,” katanya.

Wakil Ketua Komisi IX DPR Dede Yusuf berpendapat, di Indonesia sudah ada peraturan perundangannya bahwa jam kerja pegawai itu dalam satu hari delapan jam maksimal. Adapun yang lebih dari jam kerja normal adalah lembur. Oleh karena itu, kata Dede, konsep 996 sulit diterapkan di Indonesia karena sudah ada batasan jam kerja yang diatur dalam undang-undang.

“Bekerja 8 jam sehari, kalau lebih dari itu namanya lembur. Kecuali 996 bisa melebihkan gaji dari biasanya,” kata dia.

Politikus Demokrat itu menjelaskan, China menerapkan jam kerja 12 jam selama 6 hari karena prinsip mereka ingin menjadi negara super dalam berbagai hal. Hal ini tidak hanya terlihat di bidang tenaga kerja. Di bidang olahraga pun demikian. Lihat saja para atlet olahraga mereka yang merajai berbagai cabang olimpiade karena mereka berlatih dengan porsi dua kali lipat daripada atlet biasa.

“Namun tentu akan ada dampak semisal tingginya stres dan kekerasan di China. Sebab waktu santai berkurang,” ucapnya. (okezone)

Halaman :

Berita Lainnya

Index