Terobosan untuk Listrik ke Seluruh Desa

Terobosan untuk Listrik ke Seluruh Desa

HARIANRIAU.CO - Pada Senin pekan lalu, 16 Januari 2017, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arcandra Tahar meluncurkan Peraturan Menteri (Permen) ESDM Nomor 38 Tahun 2016 untuk mendorong percepatan penyediaan listrik (elektrifikasi) di 2.500 desa. Ditengarai, ini merupakan terobosan pemerintah memberikan payung hukum guna mengupayakan pemenuhan energi yang berkeadilan, yaitu meningkatkan rasio desa berlistrik di Indonesia yang saat ini baru sebesar 96,95% dari total 82.190 desa.

Salah satu implementasi membangun dari wilayah pinggiran ialah dengan mempercepat rasio elektrifikasi. Pada 2017 rasio elektrifikasi nasional ditargetkan 92,75% dan terus meningkat menjadi 97% di 2019. Rasio elektrifikasi diharapkan mencapai 100% pada 2015 saat seluruh desa bisa teraliri listrik. Dari 2.519 desa, PLN diketahui baru menyanggupi sekitar 504 desa untuk segera diterangi hingga 2019.

Kehadiran payung hukum berupa Permen 38 Tahun 2016 diharapkan mampu merangsang peran swasta, BUMD, dan koperasi selakuindependent power producer (IPP) dalam meningkatkan rasio elektrifikasi desa. Komitmen pemerintah mengembangkan listrik desa, wilayah terpencil, dan perbatasan tecermin dari alokasi anggaran terhadap program energi baru terbarukan (EBT) sebesar Rp1 triliun pada 2017, yang mayoritas menyasar pembangkit listrik skala kecil di daerah.

Pemerintah berharap dunia usaha, BUMD, dan koperasi menjadi IPP bagi 2.000-an desa. Arcandra menekankan urgensi dari mendorong elektrifikasi tidak lepas dari upaya meningkatkan konsumsi listrik nasional yang saat ini baru berkisar 956 kwh per kapita.

Padahal, sebuah negara dapat dikatakan maju bila konsumsi listrik minimal 4.000 kwh per kapita. Artinya Indonesia perlu usaha empat kali lipat untuk menuju negara maju.

Sekitar 85% dari 5.000 pembangkit tenaga listrik, yang 4.500 di antaranya berdaya kecil, merupakan pembangkit listrik jenis termal berbahan bakar fosil. Padahal bahan bakar fosil seperti batu bara, minyak bumi, dan gas ketersedian di dunia terus berkurang dan harganya semakin mahal.

Dalam rancangan besar energi nasional yang dituangkan dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN), Indonesia menargetkan sekitar 23% energi nasional pada 2025 dihasilkan pembangkit listrik EBT. Pemerintah pun sebenarnya mengikutsertakan pembangunan pembangkit dengan EBT dalam perencanaaan Proyek Listrik 35.000 MW.

Tetapi, pembangunannya terkendala infrastruktur dan teknologi yang belum memadai. Antara lain pengembangan listrik dari panel surya butuh lebih dari sekedar pancaran sinar yang konstan sepanjang tahun.

Posisi geografis Indonesia yang membuat pasokan sinar matahari tidak konstan pun merupakan tantangan tersendiri karena berkonsekuensi kebutuhan bateran dengan kapasitas besar. Alhasil, listrik dari PLTS di Tanah Air masih dibanderol sekitar US$0,15 per kilowatt per hour (kwh), atau sekitar Rp2.000 per kwh.

Adapun biaya pokok produksi (BPP) listrik di Indonesia saat ini, yang masih didominasi sumber tenaga batu bara, sekitar Rp1.352 per kwh. Artinya, pembangunan infrastruktur EBT memang harus keluar modal untuk riset dan pengembangan. Maka, wajar jika pemerintah menyiasatinya dengan mengundang investor.

Energi nuklir merupakan sebuah peluang besar yang masih bisa dimanfaatkan oleh Indonesia. Indonesia sudah mulai masuk ke dunia nuklir sebagai sumber energi sejak 1965 yang ditandai dengan peresmian pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) eksperimen Triga Mark II berdaya 250 kW. Pada tahun 2000 reaktor eksperimen yang berlokasi di kawasan Institut Teknologi Bandung ini ditingkatkan dayanya menjadi 2 MW.
 
Pada 1979, Reaktor penelitian nuklir Kartini di Yogyakarta berkapasitas 100 KW dioperasikan. Delapan tahun setelahnya, reaktor penelitian nuklir MPR RSG-GA Siwabessy berkapasitas 30 MW diresmikan di Serpong, Jawa Barat (Provinsi Banten kini).

Sayangnya, pengembangan energi nuklir ini belum menjadi prioritas kebijakan saat ini. "Kita sedang lihat potensi energi kita yang lain. Karena RUEN sudah mengatakan nuklir itu last resort, kita harus patuhi itu. Nah, itu menjadi tugas kita mencari bentuk energi lainnya. Sudah ada dan ini tengah kita evaluasi kebijakannya," ujar Arcandra menjawab pertanyaan metrotvnews.com, saat ditemui di Kementerian ESDM, Jakarta, Jumat (20/1/2017).

Ia menyebutkan potensi EBT lain yang ada dan bisa dimanfaatkan untuk pembangkit listrik antara lain panas bumi (geothermal) dan arus air. Sementara untuk panas matahari, kekuatan angin, dan EBT lain juga telah ada meski tidak besar.

Pemerintah mengakui bahwa melibatkan pihak swasta untuk membangun infrastruktur pembangkit listrik di daerah kemungkinannya tarifnya akan lebih mahal. Walaupun begitu, Arcandra menyatakan soal ini masih dapat dikaji. Mahalnya biaya pengembangan EBT ini perlu disikapi dengan memangkas beragam hambatan agar ia tak bergantung subsidi, tapi tetap terjangkau oleh konsumen, terutama masyarakat daerah.

"Kalau bisa EBT masuk ke sana. Masih banyak BPP tinggi di daerah. Karena pembangkitnya menggunakan diesel," kata Arcandra.

Menurut dia, EBT bisa masuk dengan harga 80%-90%, lebih rendah dibandingkan dari BPP pembangkit listrik tenaga diesel (PLTD). "Jadi, pelan-pelan bisa mengurangi penggunaandiesel fuel di tempat-tempat renewable energi bisa masuk," kata Arcandra.

Misalnya, BPP Rp2.200 per kwh bsa ditekan jadi Rp2.000 per kwh. Walaupun masih mahal, tapi masih lebih rendah dari BPP yang ada.

Oleh karena itu, menurut Arcandra, wacana pengembangan EBT sebetulnya tak perlu dipertentangkan dengan pemanfaatan energi fosil. "Karena kebutuhan masih banyak. Dia harus jalan beiringan. Kalau dipertentangkan. Tidak akan jalan, kecuali kalau misalnya kita tidak punya dana yang banyak. Seperti insentif. EBT baru dengan demikian baru bisa jalan. Itu yang  penting," katanya.

Khusus mengenai PLTN dengan bahan bakar berbasis Thorium atau reaktor generasi IV yang tengah menjadi sorotan dunia, pemerintah pun sudah mencanangkannya. "Kami sedang susun. Thorium itu sudah masuk infonya dan banyak laporannya. Tapi, nanti kita lihat dulu," kata Arcandra.
 



Sumber: metrotv

Halaman :

Berita Lainnya

Index