Masjid Ini Tetap Kokoh Saat Tsunami Menerjang Tabuyung 2004 Silam

Masjid Ini Tetap Kokoh Saat Tsunami Menerjang Tabuyung 2004 Silam
Masjid Nurul Iman Tabuyung, Kabupaten Mandailing Natal, Sumut, tetap berdiri kokoh hingga sekarang. Masjid ini menjadi saksi bisu dahsyatnya tsunami A

HARIANRIAU.CO - Dibalik dahsyatnya gempa ataupun peristiwa tsunami, selalu ada keajaiban yang sulit diterima akal. Namun, itulah kebesaran Allah yang apabila Dia berkehendak, apapun bisa terjadi.

Masjid Nurul Iman adalah masjid yang terletak di Desa Tabuyung, Kecamatan Muara Batang Gadis, Kabupaten Mandaling Natal (Madina), Sumatera Utara. Masjid ini menjadi saksi bisu dahsyatnya peristiwa tsunami Aceh tahun 2004 dan Tsunami Nias 2005 lalu yang menerjang
pesisir pantai barat Sumatera termasuk daerah Tabuyung.

Tabuyung adalah desa pesisir di Pantai Barat Sumatera yang berhadapan langsung dengan Samudera Hindia. Jaraknya sekitar 4 jam perjalanan darat dari Kota Padangsidimpuan. Dari Kota Medan, ibukota Sumatera Utara bisa menghabiskan waktu 14 jam perjalanan darat.

Bagi masyarakat Tabuyung, masjid yang didirikan pada tahun 1980-an ini sangatlah istimewa. Meski bangunannya terbilang sederhana, namun keberadaannya sangat berarti bagi masyarakat Tabuyung.

Selain menjadi tempat ibadah dan berkumpulnya warga, masjid ini menjadi kebanggaan warga karena tidak rusak saat peristiwa tsunami Aceh dan Nias 2004 silam. Padahal, jarak masjid dengan bibir pantai kurang lebih hanya 200 meter.

Ketika gelombang tsunami datang, hampir seluruh rumah penduduk di kampung itu hancur disapu air laut. Ajaibnya, masjid tersebut tidak tersentuh oleh air laut. Sejumlah masyarakat yang nekat lari ke dalam mesjid tidak merasakan tinggi dan derasnya gelombang tsunami. Padahal, tinggi gelombang tsunami pada saat itu mencapai 8 meter.

Saat tsunami surut, sejumlah masyarakat pergi ke kampung dan melihat hampir seluruh pemukiman penduduk datar dengan tanah, terkecuali Masjid Nurul Iman. Di dekat mesjid itu bersandar sebuah kapal yang ikut terseret gelombang tsunami, namun tidak merusak bangunan masjid. Di dalam masjid saat itu hanya ada orang buta yang sengaja diungsikan keluarganya ke dalam masjid pada saat gelombang pasang mulai naik.

Dikutip harianriau dari laman sindonews.com, Menurut cerita masyarakat setempat, dampak tsunami di Aceh pada 26 Desember 2004 itu dirasakan masyarakat di desa itu pada sore hari. Sejumlah pertanda akan datangnya tsunami sudah terlihat. Namun, masyarakat tidak tahu bahwa itu pertanda tsunami. Pagi itu, air laut tiba-tiba surut dan mengering hingga ratusan meter.

Tak heran, ratusan masyarakat di kampung tersebut spontan mengambil ikan yang ikut terdampar akibat ketiadaan air. Seolah tidak akan terjadi bencana besar, masyarakat berebut ikut di tengah laut yang mengering. Setelah ikan-ikan itu terkumpul, warga membawa pulang dan memasaknya.

Sorenya, sekitar pukul 16.00 Wib, air laut tiba-tiba naik. Namun, masyarakat menganggap itu hal biasa. Semakin lama, air laut semakin tinggi, warga mulai berkemas-kemas dan berhamburan melarikan diri. Teriakan Allahu Akbar pun bergema dari mulut masyarakat yang lari dari terjangan air laut.

Sebagian masyarakat ada yang menyelamatkan diri dengan mengendarai sepeda motor, namun umumnya warga banyak yang berjalan kaki. Ada yang menggendong anak di tangan kiri dan kanan, sebagian lagi ada yang membawa pakaian untuk persiapan pengungsian.

Hal sama juga dirasakan masyarakat Tabuyung ketika peristiwa tsunami di Pulau Nias pada 28 Maret 2005. Jika dampak tsunami Aceh dirasakan pada sore hari, dampak tsunami Nias dirasakan pada malam hari, tepatnya sekitar pukul 22.00 WIB. Saat itu, masyarakat merasakan gempa yang kencang.

Khawatir akan terjadi tsunami, masyarakat yang masih trauma dengan kejadian tsunami di Aceh langsung berkemas dan keluar rumah dan lari mencari tempat aman. Tak lama setelah masyarakat keluar rumah, gelombang tsunami langsung datang dan kembali menyapu bersih rumah penduduk warga di kampung itu.

“Masjid ini dua kali saksi sejarah peristiwa tsunami di desa kami,” ujar Zulkifli Batubara, salah seorang warga setempat.Dia menjelaskan, yang lebih menyeramkan tsunami di Nias, karena kejadiannya pada malam hari. Saat itu, dia dan anggota keluarganya berencana mau tidur. Namun, tiba-tiba dirasakan gempa yang kencang."Spontan kami berkemas dan lari dari rumah, karena kami trauma dengan kejadian yang pertama," tuturnya mengenang peristiwa kelam tersebut.

Halaman :

#Sejarah

Index

Berita Lainnya

Index