Ketentuan Bagi Hasil pada Akad Muzara’ah atau Pola Tani Tumpangsari

Ketentuan Bagi Hasil pada Akad Muzara’ah atau Pola Tani Tumpangsari
Ilustrasi/Int

HARIANRIAU.CO - Hampir dapat dipastikan bahwa sistem muzara’ah dilaksanakan menyerupai sistem musaqah. Perbedaan hanya sedikit pada jenis tanaman dan model pelaksanaannya. Jika musaqah, tanaman sudah ada di area lahan.

Sedangkan pada akad muzara’ah, kondisi tanamannya belum ada sehingga pihak petani penggarap harus menanamnya sedari awal, bahkan menyemaikan benihnya. Nah, yang jadi bahan perdebatan adalah terkait soal lahan yang dipergunakan untuk menanam.

Pada akad musaqah, obyek tanamannya merupakan tanaman menahun, kecuali pada Mazhab Hanafi yang boleh berupa tanaman usia pendek (tanaman musiman), asalkan berbuahnya tidak sekali petik langsung habis. Penulis menggambarkan, semisal cabe, tomat, mentimun, semangka, dan lain-lain. Namun, keberadaan tanaman-tanaman ini harus dijadikan sebagai tanaman utama, dan bukan sekadar sebagai tanaman sampingan semata.

Adapun pada akad muzara’ah, obyek tanamannya bukan termasuk tanaman utama. Istilah kasarnya, tanaman yang ditumpangsarikan di area tanaman utama. Apa itu tumpangsari? Tumpangsari adalah pola tanam yang dalam satu area tanaman, ditanam secara bersama-sama dua atau lebih jenis tanaman. Satu di antaranya adalah tanaman utama. Sisanya merupakan tanaman sampingan.

Nah, tanaman sampingan inilah obyek dari akad muzara’ah itu. Oleh karena itu pula, maka obyek muzara’ah juga disebut sebagai obyek substitusi/obyek tambahan. Imam Malik, sebagaimana dikutip Ibnu Rusyd dalam Bidayatul Mujtahid, Juz II, halaman 278, membahasakannya sebagai:

Artinya, “Karena tanaman muzaraah merupakan tanaman substitusi, yang berfungsi menambah hasil tanaman dari akad musaqah,” (Bidayatul Mujtahid, juz II, halaman 278).

Dengan demikian, jika tanaman muzara’ah ini berhasil, maka ada pendapatan tambahan bagi petani sekaligus pemilik lahan. Jika tidak berhasil, maka pemilik lahan juga tidak mengalami kerugian disebabkan produksi tanaman utama tidak terganggu.

Karena obyek muzara’ah adalah obyek substitusi atau tambahan/sisipan, maka syarat utama yang harus dipenuhi terkait dengan jenis tanamannya adalah: tanaman substitusi tidak boleh berupa jenis tanaman yang merugikan tanaman utama. Ini adalah kunci utama dalam memahami muzara’ah.

BACA SELENGKAPNYA...

Halaman :

#Khazanah

Index

Berita Lainnya

Index