Mamiang Bagas, Tradisi Pindah Rumah di Madina

Mamiang Bagas, Tradisi Pindah Rumah di Madina

HARIANRIAU.CO - Tradisi pindah rumah di Mandailing Natal dikenal dengan nama Mamiang Bagas. Dimana tradisi pindah rumah tersebut dilakukan dengan beramai -ramai diangkat pakai tangan secara bergotong royong lalu dipindahkan ke lokasi baru. 

Kegiatan pindah rumah dengan diangkat pakai tangan manusia secara bergotong royong masih dapat dijumpai di Desa Aek Banir, Kecamatan Panyabungan, Kabupaten Mandailing Natal (Madina), Provinsi Sumatera Utara (Sumut).

Pola ini sebagai pertanda bahwa sifat gotong royong masih terjaga di Kabupaten Madina Sumut.

Biasanya hal ini diumumkan dari masjid yang ada di desa itu tepatnya seusai Salat Jum'at, para jama'ah pun sudah memahami jika di antara petugas masjid langsung berdiri di depan dan menyampaikan hal Mamiang Bagas.

"Memang Mamiang Bagas atau mengangkat rumah ini sudah turun temurun dari nenek kita sejak jaman dulukala," ujar Torkis Lubis, Tokoh masyarakat setempat kepada SINDOnews, baru-baru ini.

Puluhan warga mengangkat sebuah rumah kayu secara beramai-ramai ke tempat baru. Suara teriakan para pengangkat rumah ini terdengar bersahut-sahutan membuat suasana semakin semangat dan ramai. Tradisi yang disebut Mamiang Bagas ini biasanya diakhiri dengan makan bersama pemilik rumah.

"Oh itu semua tidak ada gajinya, hanya saja kalau ada, pemilik rumah memberikan kepada warga yang bergotong royong makan bersama, dan itupun tidak secara paksaan," kata Torkis.

Masyarakat Suku Mandailing masih mempertahankan Mamiang Bagas, sebuah tradisi mengangkat rumah panggung yang dilakukan beramai-ramai. Bagi warga yang hendak memindahkan rumahnya akan dibantu oleh warga sekitar dengan sukarela. 

Bobot rumah yang dipindahkan tentu saja tidak ringan, bisa saja ratusan kilogram beratnya. Jarak rumah yang dipindahkan pun ke lokasi baru juga tidak dekat. 

Dengan semangat gotong royong yang menjadi filosofi dalam tradisi Mamiang Bagas, proses mengangkat dan memindahkan rumah bisa dilakukan secara bersama. Walaupun hanya berjarak 400 meter dari lokasi baru, proses angkat rumah ini terbilang sulit. 

Warga harus memanggul rumah kayu ini secara bersamaan. Tak jarang warga harus berkali-kali untuk menurunkan rumah karena terlalu berat, lalu diangkat kembali. Untuk sampai di tujuan, bisa memakan waktu hingga berjam-jam, apa lagi jika lokasinya yang melewati lokasi sempit.

Terkadang hal itu membuat warga yang menggotong bisa menghambat pergerakan mereka. Namun, masyarakat tetap semangat untuk memindahkan rumah panggung itu. Hingga pada akhirnya dengan semangat kekompakan dalam bergotong royong, puluhan warga berhasil meletakkan posisi tiang rumah ke posisi yang telah ditentukan.

“Kita bisa lihat tadi, secara spontan saja masyarakat itu datang berbondong-bondong untuk berpartisipasi mengangkat rumah,” tambah Mulia Matondang (35), warga setempat.

Namun tradisi ini di desa lain lambat laun semakin jarang terlihat, karena banyaknya warga kini sudah membuat rumah permanen atau dari batu bata. 

"Sebenarnya hal ini sudah mulai jarang terlihat, karena rumah para warga Mandailing ini juga sudah banyak yang bangunannya dari beton, tapi dari hal ini bisa kita lihat bahwa tradisi ompung kita itu suat hal membuat kita semakin kompak dan bisa mempererat silaturrahmi sesama warga di desa," timpalnya. (Sindonews)

Halaman :

#Sejarah

Index

Berita Lainnya

Index