Masjid Perak Kotagede, Simbol Pemisahan Umat dari Kebekuan Masa Lampau

Masjid Perak Kotagede, Simbol Pemisahan Umat dari Kebekuan Masa Lampau
Masjid Perak Kotagede di Jalan Mandarakan No 51 Kampung Trunojayan, Kelurahan Prenggan, Kotagede, Kota Yogyakarta. FOTO/masjidjogja.com.

HARIANRIAU.CO - Kota Yogyakarta memiliki banyak masjid kuno yang menyimpan sejarah perkembangan Islam. Salah satunya adalah Masjid Perak yang berada di sebelah utara Masjid Agung (Gede) Mataram, tepatnya di Jalan Mandarakan No 51 Kampung Trunojayan, Kelurahan Prenggan, Kotagede.

Berdasarkan sejarahnya, Masjid Perak Kotagede berdiri di atas tanah wakaf seluas 400 meter persegi. Mulai dibangun pada 1937 dan selesai pada 1939. Sebagai donatur dana pembangunan adalah para pengusaha perak antara lain Kiai Haji Amir, Haji Mashudi, dan Haji Mudzakir.

Sejarah dibangunnya Masjid Perak tidak terlepas dari perkembangan agama Islam dan eksistensi Muhammadiyah di wilayah Kotagede pada waktu itu. Kotagede dahulu menjadi Ibu Kota Kerajaan Mataram, oleh karena itu dibangunlah sebuah mesjid yang cukup megah dengan bahan kayu jati pilihan sehingga membentuk masjid yang anggun.

Awalnya di situ berdiri Masjid Gede Mataram. Letak masjid yang berada dalam satu kompleks dengan makam raja-raja Mataram, menjadikan sebagian masyarakat yang percaya pada hal-hal gaib serta kekuatan roh orang yang sudah meninggal, menggunakan kompleks masjid sebagai tempat ritual mereka. Sebagian penduduk yang beraliran Muhammadiyah akhirnya kurang nyaman dengan kondisi itu. Karena itu dibangunlah Masjid Perak Kotagede.

Pemberian nama Perak bukan semata-mata dikarenakan di sekitar masjid banyak perajin perak yang merupakan keunggulan daerah Kotagede, tapi perak berasal dari kata "Firoq" yang mempunyai arti pemisah. Masjid Perak dijadikan lambang kebebasan dan pemisahan umat dari kekotoran dan kebekuan berpikir pada masa lampau, dan keterpisahan kaum reformis dari keterikatan kekuasaan keagamaan kerajaan dan Islam adat. Warna putih Masjid Perak mencerminkan kesucian niat yang ikhlas karena Allah semata.

Bangunan Masjid Perak Kotagede sempat direnovasi pada 2009 silam karena rusak akibat gempa bumi yang melanda Yogyakarta pada 2006 silam. Meski begitu, ada beberapa ciri khas yang dipertahankan. Ruang utama terdiri dari ruang bujur sangkar dengan luas 100 meter persegi. Atapnya berbentuk joglo dengan 4 soko guru (tiang penyangga) berbentuk bulat agak runcing yang diletakkan di atas umpak berbentuk bulat panjang. Dikelilingi tembok yang membatasi serambi ruangan bagian utara dan selatan.

Serambi masjid beratap limasan. Di sekeliling tembok terdapat jendela besar di bagian barat di sebelah kanan dan kiri (pengimanan), di tembok bagian selatan terdapat 2 pintu di sebelah kanan dan kiri jendela, dan pintu bagian timur menghadap ke halaman sempit.

Salah satu yang menarik di dalam Masjid Perak adalah mimbar. Konon mimbar ini sudah ada sebelum Masjid Perak berdiri. Mulanya mimbar ini untuk digunakan di Masjid Gede Mataram Kotagede pada pelaksanaan ibadah salat Jumat. Saat itu khutbah Jumat di Masjid Gede Mataram disampaikan dalam bahasa arab, dengan materi yang seperti sudah dibukukan dan dibacakan berulang-ulang. Akibatnya, banyak orang merasa khotbah Jumat tidak membawa kemajuan bagi umat.

Selain itu khatib berada di mimbar yang ditutupi kain putih sehingga tidak terdengar oleh jamaah yang berada di luar masjid. Untuk itu beberapa tokoh Muhammadiyah mengusulkan agar mimbar dipindah lebih ke tengah dekat dengan serambi masjid dan dibuatlah mimbar tersebut. Namun usulan itu belakangan ditentang oleh abdi dalem, sehingga kemudian mimbar ini dipindahkan ke Masjid Perak.

Untuk mengetahui ketepatan waktu salat, Masjid Perak memiliki alat yang sangat sederhana berupa jam bancet (jam matahari) yang saat ini sudah jarang dijumpai. Hiasan kaligrafi terdapat di atas pintu utama. di bagian lain ada juga hiasan kaligrafi yang dimaksudkan untuk menciptakan suasana kusyuk dalam menjalankan ibadah.

Masjid Perak tidak hanya digunakan untuk tempat ritual peribadatan, tapi juga sering untuk kegiatan kemasyarakatan, seperti pengajian, kegiatan remaja dan ibu-ibu masjid. Kegiatan-kegiatan itu diniatkan sebagai upaya memakmurkan masjid.

Halaman :

#Sejarah

Index

Berita Lainnya

Index