Sejarah Prostitusi di Indonesia dari Masa ke Masa

Sejarah Prostitusi di Indonesia dari Masa ke Masa

HARIANRIAU.CO -  Praktik prostitusi online yang melibatkan artis Vanessa Angel (VA) dan model majalah dewasa, Avriellia Shaqqila (AS) berhasil dibongkar jajaran Polda Jawa Timur, Sabtu (5/1/2019). Keduanya di-booking oleh pengusaha asal Surabaya dengan bayaran fantastis. Mencapai Rp80 juta untuk sekali kencan.

Kasus ini melibatkan dua mucikari yang berperan menghubungkan antara artis dan pemesannya. Dua mucikari tersebut telah ditetapkan tersangka dan ditahan di Mapolda Jatim.

Dikutip harianriau dari laman sindonews.com, fakta ini mengonfirmasi bahwa prostitusi merupakan sebuah bisnis yang polanya telah terbangun sejak berabad-abad lalu. SOP-nya sederhana dan hampir sama di seluruh dunia, yakni penjual (PSK), mucikari (opsional), dan pembeli (hidung belang). Bertemu, bercinta, dan membayar.

Dalam Wakhudin (2006), Proses Terjadinya Degradasi Nilai Moral pada Pelacur dan Solusinya (Thesis), Bandung: Program Studi Pendidikan Umum, Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), disebutkan bahwa praktik prostitusi telah ada sejak zaman kerajaan di Jawa. Raja yang memiliki kekuasaan penuh menguasai apa saja saja yang ada di bumi.

Kekuasaan raja ini juga tercermin dari banyaknya selir yang dimiliki. Beberapa orang selir tersebut adalah puteri bangsawan yang diserahkan kepada raja sebagai tanda kesetiaan. Sebagian lagi merupakan persembahan dari kerajaan lain, ada juga selir yang berasal dari lingkungan keluarganya dengan maksud agar keluarga tersebut mempunyai keterkaitan dengan keluarga istana. Oleh karena itu, status perempuan pada zaman kerajaan Mataram adalah sebagai upeti (barang antaran) dan sebagai selir.

Perlakuan terhadap perempuan sebagai barang dagangan tidak terbatas hanya di Jawa, kenyataan juga terjadi di seluruh Asia, di mana perbudakan, sistem perhambaan dan pengabdian seumur hidup merupakan hal yang biasa dijumpai dalam sistem feodal. Di Bali misalnya, seorang janda dari kasta rendah tanpa adanya dukungan yang kuat dari keluarga, secara otomatis menjadi milik raja. Jika raja memutuskan tidak mengambil dan memasukkan dalam lingkungan istana, maka dia akan dikirim ke luar kota untuk menjadi pelacur. Sebagian dari penghasilannya harus diserahkan kepada raja secara teratur.

Bentuk industri seks yang lebih terorganisasi berkembang pesat pada periode penjajahan Belanda. Kondisi tersebut terlihat dengan adanya sistem perbudakan tradisional dan perseliran yang dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan seks masyarakat Eropa. Umumnya, aktivitas ini berkembang di daerah-daerah sekitar pelabuhan di Nusantara. Pemuasan seks untuk para serdadu, pedagang, dan para utusan menjadi isu utama dalam pembentukan budaya asing yang masuk ke Nusantara.

Pada 1852, pemerintah mengeluarkan peraturan baru yang menyetujui komersialisasi industri seks tetapi dengan serangkaian aturan untuk menghindari tindakan kejahatan yang timbul akibat aktivitas prostitusi ini. Dalam peraturan tersebut, wanita publik (pelacur) diawasi secara langsung dan secara ketat oleh polisi (pasal 2). Semua wanita publik yang terdaftar diwajibkan memiliki kartu kesehatan dan secara rutin (setiap minggu) menjalani pemeriksaan kesehatan untuk mendeteksi adanya penyakit syphilis atau penyakit kelamin lainnya (pasal 8, 9, 10, 11).

Jika seorang perempuan ternyata berpenyakit kelamin, perempuan tersebut harus segera menghentikan praktiknya dan harus diasingkan dalam suatu lembaga (inrigting voor zieke publieke vrouwen) yang didirikan khusus untuk menangani perempuan berpenyakit tersebut. Untuk memudahkan polisi dalam menangani industri seks, para wanita publik tersebut dianjurkan sedapat mungkin melakukan aktivitasnya di rumah bordil.

Dua dekade kemudian tanggung jawab pengawasan rumah bordil dialihkan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Peraturan pemerintah tahun 1852 secara efektif dicabut digantikan dengan peraturan penguasa daerah setempat. Pengalihan tanggung jawab pengawasan rumah bordil ini menghendaki upaya tertentu agar setiap lingkungan permukiman membuat sendiri peraturan untuk mengendalikan aktivitas prostitusi setempat.

Di Surabaya misalnya, pemerintah daerah menetapkan tiga daerah lokalisasi di tiga desa sebagai upaya untuk mengendalikan aktivitas pelacuran dan penyebaran penyakit kelamin. Selain itu, para pelacur dilarang beroperasi di luar lokalisasi tersebut. Semua pelacur di lokalisasi ini terdaftar dan diharuskan mengikuti pemeriksaan kesehatan secara berkala.

Perluasan areal perkebunan terutama di Jawa Barat, pertumbuhan industri gula di Jawa Timur dan Jawa Tengah, pendirian perkebunan-perkebunan di Sumatera dan pembangunan jalan raya serta jalur kereta api telah merangsang terjadinya migrasi tenaga kerja laki-laki secara besar-besaran. Sebagian besar dari pekerja tersebut adalah bujangan yang akan menciptakan permintaan terhadap aktivitas prostitusi.

Selama pembangunan kereta api yang menghubungkan kota-kota di Jawa seperti Jakarta, Bogor, Cianjur, Bandung, Cilacap, Yogyakarta dan Surabaya tahun 1884, tak hanya aktivitas pelacuran yang berkembang, tapi juga berdiri tempat-tempat penginapan dan fasilitas lainnya. Oleh sebab itu dapat dimengerti mengapa banyak kompleks pelacuran tumbuh di sekitar stasiun kereta api hampir di setiap kota. Contohnya di Bandung, kompleks pelacuran berkembang di beberapa lokasi di sekitar stasiun kereta api termasuk Kebonjeruk, Kebontangkil, Sukamanah, dan Saritem.

Namun seiring dengan menguatnya semangat beragama masyarakat, satu per satu kompleks prostitusi ditutup. Salah satu yang paling heboh adalah penutupan lokalisasi Dolly di Surabaya oleh Wali Kota Tri Rismaharini beberapa tahun lalu.

Meski banyak lokalisasi ditutup, tapi aktivitas prostitusi tidak pernah berhenti. Bisnis ini selalu menemukan mediumnya. Di era digital seperti sekarang, para pelaku tidak lagi membutuhkan tempat khusus untuk memasarkan diri atau mencari pemuas nafsu. Mereka cukup berkomunikasi di dunia maya dan bernegosiasi. Jika harga disepakati, mereka bertemu, lalu bercinta, dan setelah itu selesaikan pembayaran. Asal tidak ketahuan seperti VA dan AS, nama baik tetap terjaga dan bergelimang harta.

Halaman :

#Sejarah

Index

Berita Lainnya

Index